Makan bersama-sama

Impian Anindita Maheswari hanya satu, mendapatkan restu dari Sekar dan Dito selaku kedua orang tua kandungnya untuk masuk ke sebuah pesantren, segala cara akan Anindita lakukan jika itu membuahkan hasil yang memuaskan. Karena usaha tak akan mengkhianati hasil bukan.

Sudah sejam ia merengek sambil menarik-narik baju umi dan abinya untuk mendapatkan restu. Tapi tetap saja umi dan abinya berpura-pura fokus menonton televisi.

"Seterah umi dan abi sajalah aku capek. Aku heran sama kalian, dimana-mana itu orang tua pasti mengizinkan dan mendukung anaknya untuk masuk pesantren, agar ilmu agamanya makin membaik. Tapi kalian?..." ujar Anindita lelah merengek-rengek seperti anak kecil. "Selalu bersikeras melarang aku untuk pesantren, jika memang kalian tak sanggup membiayaiku di pesantren, aku bisa membayarnya!" Lanjut Anindita sambil berlari kearah kamar yang berada dilantai dua.

Brakkk

Suara dentuman pintu yang sangat keras membuat kedua paruh baya terperanjat dan menatap sendu pintu yang berwarna biru yang bertuliskan "ANIN'S ROOM, ONLY WOMEN CAN ENTER THE ROOM!"

"Apa kita izinkan saja Anin untuk pesantren, yah? Kasian dia, kepingin banget masuk pesantren." ucap Sekar sambil mengarahkan remote kearah televisi dan memencet tombol off.

"Hufttt sebenarnya ayah nggak rela, niggalin Anin di pesantren mi. Kamu tau sendiri, mi. Bahwa Anin adalah anak kita satu-satunya, aku ngga mau jauh dari anak aku." Balas Dito serak karena menahan air mata, Sekar yang melihat itu hanya bisa mengusap bahu suaminya itu.

Sekar mengerti bahwa Suaminya khawatir kepada anak semata wayangnya itu, mungkin karena takut kondisi Anin akan tak terkontrol disana. Tentu saja disana tidak akan ada yang memperhatikan asupan gizi Anin.

"Yah, kamu pernah merasakan berada di posisi Anin bukan? Saat kamu sangat ingin masuk sekolah yang berada di LA, orang tuamu sangat menentang bukan. Bagaimana perasaan kamu saat itu? Apa kamu mau anak kamu juga mengalami hal yang sama?!" Ujar Sekar sambil berdiri meninggalkan Dito yang sedang termenung, Sekar tak ingin anaknya terus menerus menangis hanya karena keinginannya tak dituruti.

"Semoga ini adalah keputusan terbaik." Gumam Dito sambil berjalan kearah kamar Anin.

Cklek

Suara pintu yang dibuka membuat keempat pasang mata wanita yang sedang berpelukan menatap sekilas dengan mata sembabnya, sang pelaku yang membuka pintu berjalan mendekat lalu mendekap kedua wanita yang paling ia sayangi.

"Maafin abi, nak. Bukan maksud abi melarang kamu untuk ke pesantren, hanya saja abi takut kondisi kamu nggak terkontrol. Abi takut kamu akan kekurangan gizi, disana." Dito sambil melepaskan pelukannya lalu duduk diantara dua wanitanya.

"Abi dan umikan bisa mengirimi buah-buahan sebagai sumber giziku nanti dan dititipkan ke ustadzah, nanti akan ku makan setiap pagi." Balas Anindita sambil menunjukan puppy eyesnya.

"Baiklah, untuk kali ini ayah izinkan. Tapi..." Dito dengan sengaja menggantungkan kalimatnya, menarik nafas sejenak. Membuat degup jantung Anindita bekerja dengan cepat, sampai-sampai keringatnya bercucuran di keningnya, padahal air conditioner-nya sudah menyala. "Tapi kalau kamu sampai sakit, pada saat itu juga kamu harus pindah! Dalam artian kamu keluar dari pondok, dan akan sekolah disini, dengan pengawasan ayah." Lanjut Dito.

Anindita langsung saja memeluk tubuh Dito sambil sesenggukan. Anindita tak menyangka bahwa Dito akan mengizinkannya.

"Makasih, yah. Sayang pake banget sama ayah, deh. Muach." Anindita mencium pipi kanan dan kiri Dito secara bergantian.

"Ohhh jadi kamu ngga sayang umi, ya!" Ujar Sekar dengan memanyunkan bibirnya, merajuk.

"Umi, tuh ya udah nikah juga lagaknya kayak anak kecil aja. Sini sini aku cium." Balas Anindita terkekeh sambil mencium kedua pipi Sekar lalu memeluk kedua orang tuanya dengan sayang.

"Ya udah kamu langsung tidur, udah malem banget nih. Nanti pagi kita langsung pendaftaran saja, ayah sudah menemukan pondok yang bagus. Kebetulan kepala pondoknya itu teman ayah, dulu." Ucap Dito membuat senyum tulus terukir di wajah Anindita.

***

Pagi harinya keluarga Maheswari sudah siap untuk berangkat ke pesantren yang akan Anindita tinggali untuk tiga tahun kedepan. Rasa bahagia menyelimuti hati Anindita, impian Anindita akhirnya terwujud juga untuk masuk kesebuah pesantren.

Setelah menemui kepala pondok pesantren ternyata Anindita harus di tes terlebih dahulu, dari tes mengaji, pengetahuan agamanya, dan pengetahuan sosialnya. Entahlah ada rasa ragu menyelimuti hati Anindita, karena saat tes mengaji ada beberapa ayat yang salah ia baca, terutama tajwidnya.

Setelah semua calon santriwan dan santriwati selesai melakukan tes, semuanya dikumpulkan di aula pesantren. Semuanya duduk dengan tertib dengan wajah tegang. Ada enam orang yang sedang berkeliling membagikan sebuah amplop yang betisikan pernyataan lulus atau tidaknya.

Anindita membuka amplopnya dengan tangan gemetaran, bahkan pelafalan kalimat bismillah selalu keluar dari mulutnya. Anindita membuka kertasnya dengan slowmotion, membuat jantungnya berdebar-debar.

"YES! ALHAMDULILLAH YA ALLAH AKU LULUS!" Teriak Anindita refleks. Semua pasang mata menatap Anindita, karena merasa diperhatikan Anindita langsung duduk sambil menutup mukanya dengan kertas yang ia pegang, masa bodo dengan kertas yang akan lecek, karena yang Anindita perdulikan hanya satu, bagaimana caranya mengalihkan tatapan orang-orang kepadanya.

"Ekhmmm,"
Suara deheman seseorang mengalihkan  pandangan orang-orang. Anindita dengan perlahan menurunkan tangannya yang masih memegang kertas, pandangannya menuju kepada orang yang sedang berdiri sambil memegang mikrofon.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sebelumnya perkenalkan dulu ya, nama saya Ahmad fauzi dan kebetulan saya adalah ustadz yang bertanggung jawab mengenai penerimaan santriwan dan santriwati baru. Karena itu saya ucapkan pada semua yang telah lulus pada tes ini, mungkin yang belum lulus, tetep semangat! Karena penerimaan santriwati dan santriwan disini benar-benar selektif, jadi mohon maaf. Dan untuk keberangkatannya pada hari Senin, tanggal enam belas februari dua ribu delapan belas. Mungkin segitu saja, kurang lebihnya mohon maaf, akhirusslam. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucap Fauzi sambil menuju mejanya dan membereskan beberapa kertas yang ada dimejamya.

****

Tak terasa kini sudah tanggal enam belas februari dua ribu delapan belas, waktunya Anindita berangkat kepondok pesantren. Anindita masih saja tak menyangka bahwa dirinya akan masuk ke pesantren, padahal dulu Anindita pikir umi dan abinya tak akan mengizinkannya sampai kapanpun. Tapi siapa yang mengetahui rencana Allah untuk kehidupan kita kedepannya.

"Bahagia banget sih anak umi yang cantik ini," ucap Sekar sambil menoel-noel pipi Anindita yang seperti bakpau.

"Ya dong mi, aku bahagia banget. Akhirnya aku bisa mondok juga." Balas Anindita semangat, sangat jelas bahwa Anindita sangat senang akan hal ini. Sekar dan Dito yang melihat itu hanya bisa tersenyum haru melihat anaknya yang begitu antusias.

"Semoga kamu betah ya disana, jangan lupa tetep jaga kondisi. Umi dan abi hanya bisa menjengukmu dua bulan sekali untuk permulaan, tapi untuk selanjutnya hanya satu tahun sekali, itupun pas masanya libur UKK." ucap Dito sambil mengelus pucuk kepala Anindita sayang.

"Oke yah, pasti aku betah disana!" Sahut Anindita sambil menunjukan gigi putihnya.

"Percaya deh ama kamu mah," balas Dito terkekeh. Anindita hanya mengangguk dan ikut terkekeh lalu mengalihkan pandangannya ke arah luar yang dihalangi oleh kaca mobil.

***

PONDOK PESANTREN AN-NADHLIYAH
Tulisan yang terpampang jelas di atas gerbang masuk. Sejuk, satu kata yang pertama kali Anindita dan sekar rasakan saat turun dari mobil. Sedangkan Dito memarkirkan mobilnya terlebih dahulu, yang letaknya beberapa meter dari gerbang.
Setelah Dito selesai memakirkan mobilnya, dirinya mengambil dua koper besar dan tas travel yang berwarna hitam dari bagasi mobilnya. Di selempangkan tasnya, dan ditariknya dua koper secara bersamaan.

"Kayaknya ini tas sama koper isinya orang deh, kalau baju mana mungkin seberat ini." Gumam Dito lirih sambil berjalan dengan tergopoh-gopoh karena melihat kedua wanitnya sejak tadi memandangi para pria yang melewatinya.

"Ekhmm," deheman Dito membuat kedua wanitanya itu hanya menyengir gaje.

"Gitu ya kalau ngeliat cogan lewat itu, beuhh mata jelalatan. Padahal udah punya suami yang lebih ganteng, dan sudah jelas halal kalau diliatin." Sindir Dito lalu berjalan meninggalkan Sekar dan Anindita yang sedang saling menyalahkan tentang Dito yang sedang marah.

"Tuhkan gara-gara kamu abi marahkan sama umi!" Ujar Sekar menatap kesal Anindita.

"Lah itu mah salah umi, kan umi yang ngeliatin cogan lagi jalan, bukan aku. Lagian umi udah tua masih suka yang bening-bening, aneh!" Balas Anindita tak terima.

"Taulah umi ngejar abi aja, bhayy!" Sekar sambil berjalan yang meninggalkan Anindita yang sedang melongo akibat sifat uminya yang sungguh ajaib itu.

Anindita langsung berlari ketika menyadari bahwa dirinya sejak tadi berdiri sendirian. Sesampainya di depan ruangan milik ketua yayasan, Anindita melepaskan sendalnya lalu taruh dibagian pojok agar tak terkena injakan oleh orang yang melewatinya jalan ini.

"Asslamualaikum." salam Anindita sambil menyalami tangan Adam- kepala pondok-.

"Waalaikumsalam. Mari nak duduk dulu," balas Adam sambil menyilahkan Anindita duduk di kursi tunggal di sebelahnya.

Setelah berbicara panjang lebar, Ustadz Adam menyuruh Maryam-anakanya- untuk mengantar Anindita ke kamarnya. Sekarpun mengikuti langkah maryam, karena tentu saja Sekar akan membantu Anindita membereskan pakaian anaknya.

WELCOME IN ROOM A.
أهلا بك في غرفة أ

Tulisan yang tertera dipintunya, di putar kenopnya oleh Maryam sambil mengucapkan salam. Saat masuk kedalam kamar tak ada yang menjawab salam karena kamarnya sepi, tak ada orang di dalamnya.

"Mari bu saya bantu membereskan pakaiannya," ucap Maryam sambil duduk disebalah sekar yang sedang melipatkan bajunya lagi agar terlihat rapi, karena pas kopernya dibuka bajunya sudah tak tertata. Mungkin karena faktor di dorong-dorong sehingga jadi urakan seperti ini.

Sekar mengguk sebagai jawaban, Aninditapun ikut membantu meletakan peralatan mandi dan embernya di luar belakang kamarnya. Setelah selesai membereskan barang-barang Anindita, Sekar dan Maryam kembali lagi ke ruangan kepala pondok, karena Dito masih disana.

Anindita di tinggal didalam kamar sendirian. Beberapa menit berlalu ada yang mengetuk pintu kamarnya, Anindita berjalan ke arah pintu. Di putar kenopnya lalu di tarik kebelakang. Terlihatlah enam orang perempuan kira-kira yang berada didepan kamarnya.

"Sepertinya mereka anak kamar ini deh."  batin Anindita.

Anindita membalas senyuman mereka, lalu menyilahkannya masuk.

"Ukhti santri baru?" Tanya seorang gadis yang mendekat kearah Anindita. Anindita menatap bingung ke arah wanita yang didepannya.

"Maksud ana, kakak ini santri baru ya?" Jelasnya mengerti kebingungan Anindita.

"Ohhh iya saya santri baru mbak," jawab Anindita cengengesan tidak jelas.

"Afwan ukhti, apakah ustadzah Maryam sudah memberi tahu bahwa di pondok pesantren ini mewajibkan para santrinya menggunakan bahasa Arab dan Inggris, misalkan tidak bisa lebih baik menggunakan bahasa Indonesia. Dari pada menggunakan bahasa daerah." Tegur gadis yang sedang menaruh mukenahnya di ranjang yang pojok kiri.

"Eh, iya. maaf, Saya lupa." Anindita sambil tersenyum tak enak yang lain.

"Santai saja, tapi untuk lain kali jangan di ulang ya. Dan kalau sedang di luar kamar lebih baik diam, tak usah berbicara dari pada kena hukuman." Balas gadis itu lagi.

"Oh ya sampai lupa! Kita belum kenalan ya, perkenalkan nama saya Eli, kalau yang ini Zahra, Aida, Maelan, Widia dan Waedah." Tambahnya sambil memperkenalkan diri dan menunjukan nama-nama orang yang ada disini.

"Salam kenal ya semuanya! Aku Anindita, kalian bisa panggil Anin. Semoga kita bisa berteman baik," ucap Anindita dibalas anggukan oleh yang lain.

"Ohhh ya nanti malam ada porak lho! Kamu udah tau belum Nin?" Ucap Widia bersemangat.

"Iya aku tau, pake baju porak yang merah itu bukan sih?" Balas Anindita ragu.

"Iya, betul. Nanti malam itu kita ke KD atau kampus dua. Kampus dua itu letaknya lumayan jauh dari asrama. Disana nanti kita akan ada acara api unggun, dan acara pembukaan porak." Jelas Eli.

"Nanti kita malamnya kesananya bareng-bareng yah!" Ucap Waedah.

"Siappp!" Sahut yang lain.

"Eh, itu udah jadwalnya makan siang ya?" Tanya Maelan ragu, soalnya baru sedikit kosa kata yang dipelajarinya.

"Sekarang yang jadwal ngambil nasi Aida ya!" Tambah Widia sambil rebahan di lantai tanpa beralasan apapun.

"He'em," jawab Aida berdehem. "Nanti kamu ikut aku ya Nin, dan satu hal yang harus kamu tau. Nanti itu yang mengambil nasi itu gantian, semuanya pasti kebagian kok untuk ngambil nasi." Lanjut Aida sambil berdiri dan mengambil piring yang berada di ember yang diletakan di pojok sebelah lemari milik Widia.

"Kok bawanya satu piring Da? Bukannya disini anaknya ada tujuh ya termasuk aku," komentar Anindita bingung melihat Aida yang mengambil satu piring yang ukurannya lumayan besar.

"Kitakan makannya bareng-bareng." jawab Aida sambil duduk lagi di sebelah Waedah.

Anindita bergidik jijik membayangkan hal itu, karena sebelumnya dia belum pernah melakukan hal seperti itu, memakan makanan bersama-sama dalam satu piring.

"Hmmm...makannya pakai tangan atau sendok?" Tanya Anindita ragu.

"Tangan, sesuai sunah rosul." jawab Aida.

"Tenang Nin, kita pasti cuci tangan dulu. Lagian makan itu lebih nikmat pakai tangan terus bareng-bareng." Tambah Widia.

Tok...tok...tok...

Ceklek

"Ukhti syura'tan ila matbah. (Kakak cepetan ke dapur)" ujar gadis  yang berbicara dengan tersengal-sengal, sepeti habis berlari-lari.

"Na'am, ukh syukron. (iya, kak terima kasih)" balas Aida sambil berdiri dari tempat duduknya.

"Afwan. (sama-sama)" jawabnya sambil berjalan terlebih dahulu kearah dapur, sepertinya.

Aida dan Anindita berjalan beriringan menuju dapur yang letaknya lumayan jauh dari kamarnya, sepanjanga perjalanan mereka berbincang-bincang banyak hal.

Setelah mendapatkan makananya Anindita dan Aida segera menuju kamar. Sesampainya di kamar mereka berdua langsung di sambut dengan yang lain.

Anindita menaruh piringnya di tengah-tengah, lalu menatap teman-temannya dengan pandangan ragu. "Ini yakin kita makan pakai tangan?"

"Yakinlah! Nih ya nin, kamu itu seorang perempuan yang pastinya akan menjadi sosok ibu bukan? Gimana kamu mau ngurus anak kamu nanti, jika kamu saat makan menggunakan tangan aja jijik seperti itu," balas Waedah dengan mengeha nafas.

"Coba deh kamu bayangin, saat kamu lagi enak-enak makan dengan kondisi lapar, tiba-tiba anak kamu pup. Apa yang kamu lakukan?" Ucap Waedah lagi.

"Pasti bersihin pup anakku dululah, bayikan kalau pup nangis." Jawab Anindita mantap.

"Pasti setelah itu kamu kembali makan lagi bukan?"

"Pasti! Kan laper."

"Kamu ngga merasa jijik? Kan kamu abis membersihkan pup menggunakan tangan kamu,"

"Hmmm, ngga taulah aku bingung." balas Anindita cepat.

"Nin, dengan kita makan bersama-sama menggunakan tangan itu dapat menumbuhkan rasa solidaritas lho! Rasa empati pasti timbul ketika salah satu diantara kita ngga makan bersama kita." Ujar Waedah.

"Cukup yah ceramahnya, ayok kita makan. Aku udah lapar nih," celetuk Maelan dengan pandangan memelas.

"Hahaha iya-iya, ayok kita makan." Putus Waedah terkekeh.
Semuanya makan dengan khidmat. Ternyata makan bersama-sama menggunakan tangan lebih nikmat, fikir Anindita.

***

Malam harinya kamar A di sibukan dengan persiapan mereka menuju Kampus dua atau sering disebut KD, tempat dimana santriwati dan santriwan yang sudah menengah atas.
Porak dimulai dengan sangat meriah, dan untuk tiga hari kedepan dilakukan acara perlombaannya.

Walau badan terasa pegal-pegal tapi semangat tetap saja membara di dada para setiap santriwan dan santriwati. Bahkan semangat masih saja menggelora saat penutupan poraknya.

***

Sudah enam bulan Anindita tinggal dipondok, banyak sekali hal-hal yang tak pernah Anindita alami sebelumnya.

"Mungkin kebiasaan unik ini, sempat menjijikan dibenakku. Tapi entah mengapa kini rasanya akan berbeda jika aku makan menggunakan sendok." batin Anindita.

Komentar

  1. Mb shobiha ... udah mampir nih. Siapin cemilannya ya hehe

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Bagus banget ceritanya 👍👍👍😄😁

    BalasHapus
  4. Bagus nok.. lanjutkan bikin cerpen yg lebih bagus lagi ya..

    BalasHapus
  5. Bagus nok.. lanjutkan bikin cerpen yg lebih bagus lagi ya..

    BalasHapus
  6. Bagus sayanggg... Tetep semangat bikin cerpennya💪💪💪👌👌👌😘😘😘

    BalasHapus
  7. Bagus banget.. bikin yang banyak yaa.. 😊😊

    BalasHapus
  8. Cocok buat anak muda,,. Bikin lagi maaa.. 😆

    BalasHapus
  9. Bagus sekali Shobi ceritanya. Kembangkan terus yaa.

    BalasHapus
  10. Ok juga, teruskan bakatmu tuk maju

    BalasHapus
  11. Hehehehe artikel nya sangat membantu kak dan berguna dan bermanfaat

    BalasHapus
  12. Sangat bermanfaat 👍👍👍

    BalasHapus

Posting Komentar